Samarinda – Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Disperindagkop dan UKM) Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar diskusi terbatas bertajuk Peningkatan Ekspor Non Migas dan Non Batubara di Kaltim. Acara yang berlangsung Selasa (10/12/2024) di Kantor Gubernur ini membahas upaya peningkatan ekspor produk non-migas dan non-batubara guna mendorong diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada sektor sumber daya alam yang terbatas.
Kepala Disperindagkop dan UKM Kaltim, Heni Purwaningsih, menyampaikan bahwa meskipun batu bara dan migas telah lama menjadi penyumbang utama ekspor Kaltim, saat ini pemerintah berkomitmen untuk menggali potensi sektor lain yang memiliki daya saing tinggi di pasar internasional.
“Kita menyadari pada rapat sebelumnya, terdapat beberapa komoditas yang punya pangsa pasar ekspor cukup besar, namun di hulunya kita belum memetakan potensi yang dimiliki oleh Kalimantan Timur sebesar apa,” terang Heni.
Forum ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan ekspor non-migas dan non-batubara di Kalimantan Timur serta mencari solusi penyelesaiannya.
“Neraca perdagangan Kalimantan Timur memang surplus, walaupun dari tahun ke tahun terdapat kecenderungan mengalami penurunan, sehingga perlu ada upaya-upaya yang kita sinergikan bersama, baik keterlibatan pengusaha, multi-stakeholder, dan juga asosiasi terkait,” tegas Heni.
Wakil Ketua Bidang Sumber Daya Alam Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Kaltim, Zulfa Habibinur, turut menanggapi terkait permasalahan ekspor non-migas dan non-batubara di Kaltim. Ia beranggapan bahwa permasalahan ekspor non-migas dan non-batubara di Kaltim disebabkan oleh kurangnya edukasi terhadap UKM/UMKM dalam melakukan ekspor.
“Pendidikan atau edukasi ekspor itu sangat dibutuhkan, pelaku UMKM perlu memiliki kompetensi serta pemahaman yang jelas tentang regulasi serta dokumen pemenuhan ekspor lainnya,” terang Zulfa.
Zulfa juga menyoroti soal regulasi yang kurang jelas keberpihakannya kepada UMKM dalam mendorong pelaku UMKM untuk melakukan ekspor.
“Sinkronisasi kebijakan adalah satu-satunya cara untuk melindungi dan mempermudah pelaku UMKM untuk dapat melakukan ekspor, serta dengan regulasi pula harusnya kita dapat menekan biaya logistik yang menyulitkan pelaku usaha terutama UMKM,” tegas Zulfa.
Ia juga menjelaskan bahwa Kalimantan Timur, dengan kekayaan sumber daya alam dan posisinya yang strategis, memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu pusat ekspor utama Indonesia. Namun, salah satu hambatan utama yang dihadapi adalah tingginya biaya logistik, yang mencakup hingga 25-40% dari total biaya produksi. Masalah ini berdampak langsung pada daya saing produk di pasar internasional.
“Solusi efisiensi logistik menjadi prioritas utama untuk mendorong ekspor dari wilayah Kaltim, di antaranya pengembangan infrastruktur, digitalisasi sistem logistik, peningkatan efisiensi operasional, insentif dan dukungan pemerintah, serta membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kalimantan Timur dengan fasilitas ekspor terpadu untuk mengurangi biaya logistik,” tutup Zulfa.