SAMARINDA – Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 2025 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) bukan sekadar aturan teknis bagi para eksportir. Kebijakan ini merupakan langkah strategis pemerintah untuk membangun benteng pertahanan bagi ekonomi nasional.
Hal tersebut menjadi benang merah dalam diskusi podcast “Ruang Ekspor” yang digelar Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Kalimantan Timur bersama Bank Mandiri pada Senin (28/7/2025).
Dalam konteks kebijakan nasional, aturan baru yang mewajibkan eksportir menempatkan 100 persen DHE di dalam negeri selama 12 bulan ini memiliki tiga tujuan utama. Tujuannya adalah untuk memperkuat cadangan devisa, mengendalikan arus modal keluar (capital outflow), serta mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
Transaction Wholesale Business Head Bank Mandiri Region IX Kalimantan, Tyas Junaidianto, yang menjadi narasumber dalam podcast tersebut, menjelaskan bahwa pemerintah kini lebih fokus dalam menerapkan aturan ini. Kebijakan DHE tidak lagi menyasar semua komoditas, melainkan hanya lima sektor SDA utama yang paling vital bagi perekonomian.
“Jika sebelumnya semua komoditas hasil ekspor wajib masuk ke dalam Rekening DHE, maka kini hanya komoditas dari lima sektor yang diwajibkan, yakni sektor pertambangan, migas, perkebunan, kehutanan, dan perikanan,” jelas Tyas.
Dengan mewajibkan devisa dari sektor-sektor terkaya ini untuk “parkir” lebih lama di dalam negeri, pemerintah berharap dana tersebut bisa lebih produktif. Tujuannya untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional dari gejolak ekonomi global.
Diskusi telah ditayangkan di kanal YouTube GPEI Kaltim ini menggarisbawahi bahwa kebijakan DHE adalah instrumen penting dalam menjadikan kekayaan alam Indonesia sebagai penopang utama ketahanan ekonomi bangsa. (*)